Jumat, 19 Juni 2015

Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu dan Shorof



SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU NAHWU SHARAF

A.    PENDAHULUAN
Nahwu dan sharaf merupakan bahagian dari ‘ulumu al-lughoh al-‘arabiyyah yang bertujuan untuk menjaga dari kesalahan pengucapan dan tulisan.’Ulumu al-lughoh al-‘Arabiyyah  berjumlah 12 ilmu berdasarkan mukaddimah kitab القواعد الأساسية للّغة العربية karangan Assayyid Ahmad Al-Hasyimi yaitu: nahwu, sharaf, ‘arudh, qowafi, matan  al-lughoh, qardh, insya’, khott, bayan, ma’ani, muhadharah, isytiqaq.[1]
Hubungan ilmu sharaf dan ilmu nahwu tidak dapat dipisahkan bagaikan ibu dan bapak yaitu saling membutuhkan serta saling melengkapi sebagaimana perkataan sebagian ulama:
"اَلصَّرْفُ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَالنَّحْوُ أَبُوْهاَ"
Artinya: “ilmu sharaf adalah ibu atau induk dari segala ilmu, sedangkan ilmu nahwu adalah bapaknya”.[2]
            Adapun perbedaan ilmu sharaf dan ilmu nahwu adalah jika ilmu sharaf membahas suatu kata sebelum masuk di dalam susunan kalimat, sedangkan ilmu nahwu adalah membahas suatu kata ketika sudah masuk di dalam susunan kalimat.[3]
Dari kedua ilmu ini kita dapat memahami dan mempelajari teks-teks bahasa Arab yang termaktub dalam al-Qur’an, Hadits, kitab-kitab ilmu Agama, Syair-syair, serta qaul-qaul bijak para ulama’ terdahulu.
Sebagaimana telah berkata sahabat Umar bin Al-Khathab: “Pelajarilah bahasa Arab kerana sesungguhnya bahasa Arab itu merupakan suatu bahagian dari bahasa kalian”.
Seterusnya Imam Al-Ghazali berkata di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin:
“Sesungguhnya bahasa Arab dan Nahwu adalah suatu sarana untuk mengetahui Alquran dan sunnah Nabi s.a.w. Keduanya bukanlah termasuk ilmu-ilmu syar’i akan tetapi wajib hukumnya mendalami kedua ilmu tersebut karena syar’iah ini datang dengan bahasa Arab dan setiap syar’iah tidak akan jelas kecuali dengan suatu bahasa”.
Maka dengan hal tersebut, bertepatanlah dengan sebuah kaidah fiqhiyyah :
مَا لاَ يَتِمُّ الْواَجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبُ
Artinya: “Tidak sempurna sesuatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia dihukumi wajib pula”.
Dengan demikian, maka jelaslah fungsi ilmu nahwu dan sharaf sebagai alat untuk  mengkaji dan memahami isi dari teks-teks Arab, terutama yang berkaitan dengan ilmu Agama (syari’ah).

B.     PEMBAHASAN
1.      Keadaan Bahasa Arab Sebelum Munculnya Ilmu Nahwu
Bangsa Arab sejak masa jahili terkenal dengan kemahirannya dalam menyusun kalimat, baik yang berbentuk natsr (prosa) ataupun syi’r (puisi). Ibnu Rasyiq berkata bahwa mereka sangat terkenal dalam mengungkapkan kalimat-kalimat yang fashih dan konsisten dalam menggunakan aturan-aturan yang bersifat konvensional seperti qafiah-qafiah syair yang saling berkaitan, ini bukan karena pembawaan (mauhibah), akan tetapi karena banyaknya latihan-latihan terutama dalam perlombaan.
            Para pujangga mempunyai otoritas yang tinggi dalam menjaga kemurnian bahasa. Mereka seringkali mengadakan kontes kefashihan di tempat-tempat di sekitar ka’bah (yang berkaitan pasar-pasar ukazh, dzul majnah, dan lain-lain) kalimat-kalimat yang fasihdan baligh akan mendapat sebutan yang istimewa, seperti: barud al-asbi, alhilal, al-mu’athif, ad-dibaj, al-waysi, almuhakkiamat, dan al-mudzahibat. Begitu pula para pemiliknya akan diberi laqab atau sebutan tertentu, seperti: al-muhallil, al-muraqqis, al-muhabbir, al-mitsaqqib, an-nabighah, al-kayyis, alafwah, al-utanakkal dan lain sebagainya. Dan bentukpenghargaan lagi adalah mereka menulis syair atau prosa tadi dengan tinta emas kemudian digantungkan pada dinding ka’bah.[4]
2.      Faktor-Faktor Yang Mendorong Munculnya Ilmu Nahwu
Pertama: faktor agama. Kelahiran Islam di tanah Arab dengan membawa al-Qur’an merupakan sumber inspirasi dan motivasi terhadap lahirnya berbagai macam ilmu. Para sejarawan mencatat pada masa Abbasiyah lebih dari 300 macam ilmu berkembang pesat berkat al-Qur’an. Dibidang bahasa paling tidak ada 20 macam ilmu, seperti: nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudh, qowafi, Isytiqaq, dan lain sebagainya. Dari sini kelihatansekali bahwa kemu’jizatan al-Qur’an tidak hanya dari aspek isinya, namun dari susunan bahasanyajuga jauh di atas kemampuan manusia. Padahal ketika al-Qur’an diturunkan, bangsa Arab sedang mencapai puncak kefashihannya. Untaian syair-syair yang selama itu mereka anggapindah menjadi kebanggaan seketika pudar. Mereka kagum dan terpesona terhadap susunan kata dan kalimatnya yang begitu indah dan serasi, sebagaimana perkataan al-Walid bin al-Mughirah: Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad itu sedikitpun tidak serupa dengan syair, demi Alllah kata-kata yang diucapkannya sungguh manis, bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya mengalir air segar, ucapannya sungguh tinggi tak dapat diungguli, bahkan dpat menghancurkan apa yang ada di bawahnya. Oleh karena itu sejak dahulu kaum muslimin tidak henti-hentinya mempelajari al-Qur’an dari berbagai aspeknya.[5]
Kedua, faktor sosial. Struktur masyarakat yang hiterogen sangat mendorong munculnya ilmu nahwu. Seperti bashrah dihuni oleh bebrapa etnis, baik dari Arab ataupun non Arab. Dari bangsa Arab yang tinggal di bashrah adalah suku tamim, quraisy, kinanah, tsaqif, bahilah, bakr, dan qaos, sedangkan dari non Arab adalah bangsa persi, yunani, afrika utara, dan india. Mereka semua saling berinteraksi dalam semua bidang. Dan bahasa adalah alat yang primer. Mereka tidak mungkin dapat berbahasa dengan baik dan benar tanpa menggunakan kaidah-kaidah nahwiyah.[6]
Ketiga, faktor politik. Sejak zaman jahili bangsa Arab mempunyai fanatisme yang tinggi terutama dalam menjaga bahasa. Mereka tidak mau larut dan hanyut mengikuti bahasa orang asing. Namun bahasa Arab sendiri juga bukan bahasa yang kaku dan mati yang tidak dapat menerima dan perkembangan. Maka ketika daulah Umayyah berkuasa, bahasa Arab dijadikan bahasa resmi Negara, bahkan Umayyah menerapkan system arabisasi, yaitu semuanya harus bersifat Arab. Bahasa Arab pada waktu itu berkembang sangat pesat. Orang-orang non Arab beramai-ramai belajar bahasa Arab agar dapat berkomunikasi dengan para penguasa.
            Begitu pula ketika daulah Abbasiyah berkuasa, bahasa Arab dijadikan bahasa ilmu pengetahuan. Penterjemhan besar-besaran dari berbagai disiplin ilmu mendorong kaum cerdik untuk dapat ambil bagian kegiatan ini. Para penguasa pada umumnya menaruh perhatian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka member fasilitas yang luar biasa bagi pertumbuhan berbagai macam disiplin ilmu. Dan tidak sedikit mereka dijadikan muaddib di istana kerajaan untuk mendidik putra-putra khalifah, seperti yang dialami oleh al-kisa’i.[7]
3.      Lahirnya ilmu Nahwu
Abul Aswad ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang termenung memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab: "Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad mendatangi Ali dengan membawa lembaran yang bertuliskan antara lain:

"BismillahirRahmaanirRahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun wafi'lun waharfun. Fal ismu maa anbaa 'anil musammaa, wal fi'lu maa anbaa a'an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa 'an ma'nan laisa bi ismin walaa fi'lin".

Artinya: "Dengan nama Allah yang maha Pengasih dan Penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi'il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi'il'.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat al-Qur'an: "InnalLaaha bariiun minal musyrikiina warasuulihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasuulihi, padahal seharusnya dibaca dlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab. Ibnu Salam dalam kitabnya Thabaqaatu Fuhuulisy Syu'araa mengatakan "Bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm." Berbagai riwayat dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli dalam rangka mendukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu.
Namun demikian, diantara riwayat-riwayat itu masih banyak yang diperdebatkan keabsahannya. Satu riwayat yang cukup populer dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/.
Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab. Lama-kelamaan, karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemu-kan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan al-Qur'an. Tanda baca itu adalah titik di atas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab).[8]
4.      Perkembangan Ilmu Nahwu
Perkembangan nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, dan Andalusia.[9]
a.       Periode Basrah
Atas jasanya dalam memberi tanda baca mushaf Al-Qur'an itu Abul Aswad kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu i'rab, dan setelah itu banyak orang yang datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah dan dasar-dasar ilmu i'rab. Dia melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami' Bashrah. Dari sinilah awal mula kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran ilmu nahwu. Banyak murid yang berhasil dan kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai seorang murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan ilmu nahwu yaitu Maimun Al-Aqran.[10]
Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian istilah nahwu, seperti rafa', nasab, jar, tanwin, dan i'rab, (2) perluasan beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah ilmiah dikalangan para ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan dalam bidang ilmu nahwu. Dikenalnya kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu. Para Ahli nahwu setelah generasi Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu ‘Amr bin Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu aktif dalam mengkaji dan meneliti berbagai masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu.
Kemajuan Bashrah dalam bidang Ilmu Nahwu itu juga tidak terlepas dari perannya dalam bidang sosial budaya. Bashrah pada saat itu merupakan pusat perdagangan negara Iraq dan juga lebih dekat ke Jundaisabur, Persi yang saat itu merupakan pusat pengkajian budaya dan filsafat Yunani, Persi, dan Hindia. Oleh karena itu pemikiran Bashrah secara umum lebih mendalam dari pada pemikiran kufah, dan lebih siap untuk mengkaji dan mengkonstruksi berbagai macam ilmu.[11]
Disatu sisi khususnya dalam bidang bahasa keadaan penduduk yang heterogen tersebut mengakibatkan munculnya lahn. Di Bashrah sendiri ada nama daerah yang disebut dengan marbad. Tempat ini berfungsi seperti pasar ukadz pada masa Jahiliyah.[12]
b.      Periode Kufah
Kufah ditinjau dari bahasa artinya gundukan pasir yang subur. Kota ini terletak juga di Iraq yang didirikan oleh Sa’ad bin Abi Waqas dalam perang Qadisiyah. Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadikan kota ini sebagai pusat pemerintahannya sampai Ali wafat tahun 661 M dan kota ini pula oleh khilafah Abbasiyah pernah dijadikan sebagai ibu kota sebelum Baghdad dibangun. Orang-orang pertama kali yang menduduki kota kufah adalah orang-orang Arab yang dating bersama Sa’ad bin Abi Waqas ketika memrangi bangsa Persia. Setelah itu bangsa Persi yang memeluk agama Islam banyak yang tinggal di kufah.[13]
Lepas dari siapa pendiri madzhab Kufah, ada seorang tokoh Kufah yang paling berjasa dalam proses ilmiah bahasa Arab, yaitu Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H). Ia adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya (ilmu hadits, fiqh, bahasa, matematika, logika formal) dan didukung dengan kecerdasan yang sangat luar biasa. Ilmu Nahwu ia kembangkan sedemikain rupa, sehingga dengan kata lain bahasa Arab benar-benar menjadi bahasa ilmiah dan dapat dipelajari secara metodologis dan sistematis. Khalil tidak saja melengkapi dan memperluas teori-teori Abu Aswad dan para muridnya, tetapi secara spektakuler telah mencetuskan teori baru, yaitu tentang Mubtada’, Khabar, Kana, Inna dan saudara-saudaranya berserta fungsi dan cara kerja masing-masing. Ia juga sebagai pembuat kategori atau klasifikasi kata kerja transitif (al-af’al al-muta’diyah) baik yang sebagai obyek (maf’ul bih) satu, dua atau beberapa obyek. Ia juga perumus al-fail dan berbagai jenis al-maf’ul, al-khal, al-tamyiz, al-tawabi’, al-Nida’  berikut macamnya, kata benda (tanwin musharif) dan sebaliknya. Semuanya ia definisikan dan disusun metode-metodenya secara rapi.
Tidak hanya di situ bentuk inovasi Khalil. Lebih jauh lagi, ia membuat teori-teori bahasa lain yang kemudian disebut dengan Ilmu Sharaf. Ia kategorikan semua (yang kita kenal sekarang dengan tsulasi, ruba’i, khumasi dan lain-lain). Karena pengetahuan matematika dan musiknya yang mendalam, ia mampu membuat rumusan berbagai nada bunyi puisi-puisi Arab dan aturan-aturannya yang kemudian dikenal dengan ilmu Arud wal Qawafi. Pengaruh matematika pada metode Khalil dalam penyusunan kata-kata Arab ini telah memengaruhi dan mengilhami ia untuk mengelola huruf-huruf Hijaiyah. Dari dua puluh delapan huruf Hijaiyah oleh Khalil dijadikan derivasinya dan dikelompokkan dalam cabang-cabangnya (dalam pandangan Khalil pada dasarnya kata dalam bahasa Arab hanya berjumlah dari penggabungan dari lima huruf lebih, maka dikategorikan sebagai huruf ziddah). Ia juga yang merumuskan a-ba-ja-dun.[14]
Dengan kata lain, Khalil lebih mengedepankan qiyas daripada mencari informasi langsung dari masyarakat (sima’i). Sejak kemunculan Khalil dengan qiyas-nya itu, sekarang qiyas berperan sangat besar dalam berbagai perdebatan dalam dunia kebahasan (linguistik) Arab.
Kajian nahwu di kufah jauh ketinggalan dibandingkan dengan kajian nahwu di bashrah kurang lebih seratus tahun. Hal ini disebabkan karena di kufah lebih disibukkan kajian terhadap hadits, fiqih, dan qira’ah, sedangkan di bashrah para ulama’ lebih disibukkan kajian bahasa, nahwu, filsafat, dan manthiq. Disamping itu pula para penduduk kufah lebih suka berpegang teguh pada tradisi-tradisi kuno. Karena di daerah tersebut banyak tinggal orang-orang yang asli Arab khususnya para sesepuh sahabat Nabi Muhammad saw, seperti Umar bin Yasir, Abdullah ibnu Mas’ud, dan lain sebagainya. Para penduduk kufah akhirnya sadar atas ketertinggalan mereka, khususnya dengan penduduk bashrahyang telah mencapai kemajuan dalam bidang bahasa. Nahwu kufah merupakan pengembangan dari model nahwu bashrah, dan semua ahli kufah adalah murid dari para tokoh nahwu bashrah.[15]
Secara eksplisit, Dr. Shalah Rawwaiy menyebutkan tiga macam ciri-ciri umum aliran kufah berikut:
1.      Keluasan dalam penggunaan riwayat
Aliran Kufah sangat bertopang pada syi’ir orang Arab pedalaman.
2.      Keluasaan dalam analogi (qiyas)
Dalam hal ini kritik dapat dikedepankan mengingat terkadang mereka hanya menggunakan sebuah syi’ir sebagai syahid.
3.      Perbedaan penggunaan istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan amil dan ma’mul.
c.       Perbedaan Anatara Periode Bashrah Dan Kufah
Seandainya aliran Bashrah disebut peletak dasar nahwu maka aliran Kufah merupakan mata rantai dari pengokoh kajian gramatika Arab terutama dengan ciri khas tertentu yang terkadang merupakan pendekatan yang berdiri diametral dengan aliran Bashrah.
Secara sederhana dapat dikatakan perbedaan kedua aliran nahwu tersebut terletak pada perbedaan metodologi yang digunakan oleh keduanya. Aliran Bashrah dalam banyak hal lebih berupaya menciptakan kaidah berdasarkan banyak contoh. Dengan demikian aliran Bashrah menganggap contoh yang sedikit tidak dapat dijadikan dalil atau paling tidak mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang syaadz. Berlawanan dengan aliran Bashrah, kita menemukan aliran Kufah lebih menganggap bahasa yang benar haruslah sebagaimana diriwayatkan oleh penuturnya betapapun syadznya riwayat itu.
Dengan demikian tidak mengherankan kalau dalam prakteknya kedua aliran tersebut selalu mengedepankan pendekatan yang berbeda dan pada akhirnya pemikiran yang mereka hasilkan juga berbeda. Dalam hal ini aliran Bashrah terkenal dengan pendekatan ta’lil dan falsafi yang cenderung preskriptif sementara Kufah terkenal dengan pendekatan riwayah yang cenderung deskriptif.[16]
Demikian perkembangan ilmu nahwu yang terjadi dalam dua periode, yaitu periode bashrah dan kufah. Mestinya sejarah perkembangan ilmu nahwu masih berlanjut hingga fase kematangan dan penyempurnaan oleh ulma ahli nahwu sehingga menyebar di berbagai daerah, hingga Baghdad sampai Andalusia juga. Akan tetapi penulis hanya memfokuskan pembahasan perkembangan ilmu nahwu periode Baghdad dan kufah saja.
5.      Tentang Ilmu Sharaf
a.       Pengertiannya:
1.      Dari segi bahasa : Perubahan ((تغيير
Dasarnya:
قال الله تعالى: " . . . . وَتَصْرِيْفِ الرِّياَحِ . . . الأية.[17]
أي تَغْيِيْرُهاَ مِنْ حاَلٍ إِلَى حاَلٍ مِنْ جِهَّةٍ إِلَى جِهَّةٍ
Artinya: perubahan angin dari suatu keadaan menuju keadaan lain atau dari suatu arah kearah yang lain.
2.      Dari segi istilah :
Perubahan asal suatu kata kepada beberapa kata yang berbeda untuk mencapai arti yang dikehendaki yang hanya bisa tercapai dengan perubahan tersebut.
b.      Penyusunnya
Yang pertama kali menyusun ilmu ini ialah Imam Muadz bin Muslim. Beliau adalah seorang ulama yang berasal dari kufah. Wafat tahun 187 H.
c.       Pembahasannya
Yang dibahas dalam ilmu sharaf adalah isim-isim yang متمكن (yang dapat diubah-ubah) dan fi’il-fi’il yang متصرّف (dapat ditasrif)
d.      Manfa’atnya
Untuk menjaga lisan agar jangan sampai salah ucap dalam tiap-tiap kata atau kalimat dan untuk menjaga peraturan-peraturan bahasa Arab di dalam tulisan.
e.       Pengambilannya
Pengambilan dan sumber ilmu sharaf ialah dari kalimat-kalimat atau ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi dan kata-kata yang berlaku bagi orang Arab.[18]
f.       Pembagian tashrif
Dalam ilmu shorof, para ulama telah membagi tashrif ini menjadi dua macam, yaitu tashrif lughowi dan tashrif istilahi.
1.      Tashrif lughowi adalah tashrifan untuk mengetahui pelaku dari fi’il tersebut yang berdasarkan dhomir.
2.      Tashrif istilahi adalah tashrifan yang digunakan untuk mengetahui bentuk shighot dari suatu kata, dari fi’il madhi sampai dengan isim alat.
g.      Beberapa Istilah Penting dalam Ilmu Sharaf
Supaya lebih mudah memahami pelajaran ilmu sharaf maka terlebih dahulu kita harus memahami beberapa istilah penting yang akan sering disebut di tengah-tengah pembahasan ilmu sharaf. Istilah-istilah tersebut antara lain:
1. Wazan
Wazan artinya timbangan, pola atau formulasi kata yang umumnya dengan menggunakan variasi komposisi huruf-huruf ف , , ع dan ل. Contoh:
-          Wazan dari kata كَتَبَ adalah فَعَلَ
-          Wazan dari kata كَاتِبٌ adalah فَاعِلٌ
-          Wazan dari kata اِنْـقَطَعَ adalah   اِنْـفَعَلَ
2. Mauzun
Mauzun artinya kata yang ditimbang atau yang dicocokkan dengan wazannya. Seperti contoh pada poin 1 kata فَعَلَ disebut wazan, sedangkan kata كَتَبَ disebut mauzun.
3. Huruf ‘illat
Huruf ‘Illat artinya huruf penyakit yaitu ا,و,dan ي.
4. Tashrif                                                                            
Tashrif artinya mengubah bentuk dasar menjadi kata-kata turunan dengan mengikuti aturan dan pola tertentu sehingga dihasilkan kata-kata baru dengan makna yang berbeda-beda.
5. Muqabalah
Muqabalah arti bahasanya adalah “saling berhadapan”. Yang dimaksud dengan muqabalah di sini adalah memperhadapkan atau membandingkan kata-kata dengan wazannya. Contoh, kata مَنَعَ dikatakan memiliki wazan فَعَلَ, karena huruf mim pada kata مَنَعَ setentang dengan huruf fa pada wazan فَعَلَ; huruf nun pada kata منَعَ setentang dengan huruf ‘ain pada wazan فَعَلَ ; dan huruf ‘ain pada kata مَنَعَ setentang dengan huruf lam pada wazan فَعَلَ . Coba anda perhatikan:
Selanjutnya dikatakan bahwa:
-          Huruf pertama (mim) pada kata مَنَعَ disebut fa’ fi’il
-          Huruf kedua (nun) pada kata مَنَعَ disebut ‘ain fi’il, dan
-          Huruf ketiga (‘ain) pada kata مَنَعَ disebut lam fi’il
Begitulah, setiap fi’il yang asalnya tiga huruf (fi’il tsulatsi) maka huruf pertamanya disebut fa fi’il, huruf keduanya disebut ‘ain fi’il, dan huruf ketiganya disebut lam fi’il.
Kalau fi’il tsulatsi itu bertambah hurufnya, seperti turunan dari kata مَنَعَ menjadi يَمْنَعُ , يَمْنَعُوْنَ , atau اِمْتَنَعَ , maka huruf yang bertambah itu tidak dihitung. Kita tetap mengatakan bahwa mim itu adalah fa’ fi’il, nun itu ‘ain fi’il, dan ‘ain itu adalah lam fi’il. Selain dari huruf-huruf itu dikatakan za-idah (huruf tambahan).
Huruf-huruf tambahan yang menjadi imbuhan berjumlah sepuluh huruf, terhimpun dalam kalimat .سَأَلْـتُـمُوْنِـيْهَا
Contoh : kata مَمْنُوْعٌ tersusun dari lima huruf sehingga padanya terdapat dua huruf tambahan yaitu م pertama dan .و kata أَسْتَغْفِرُ tersusun dari enam huruf sehingga padanya terdapat tiga huruf tambahan yaitu أ, س, dan ت dan seterusnya.
6.      Kitab Nahwu dan Sharaf yang Dikaji Di Indonesia
Kitab-kitab Nahwu yang dipelajari di pesantren-pesantren, di madrasah-madrasah, maupun di bangku kuliah di Indonesia antara lain: kitab Qowā’id al-I’rāb, kitab Nahwu al-Wāḍih, kitab al-Ᾱjurūmiyyah, kitab al-‘Imrīṭī, kitab Alfiyah ibnu Mālik, Fath al-Khabir al-Lathif bi Syarhi Matan al-Tarshif, Syarah al-Luma' fi al-'Arabiyah, Ihya' al-Nahwi, dan lain sebagainya.
Sedangkan kitab-kitab sharaf yang dikaji diantaranya: al-Amṡilah at-Taṣrīfiyyah, kitab Qowā’id al-I’lāl, kitab al-Maqṣūd, Mukhtashar al-Tashrif al-Tashrif al-Muluki, al-Sharf al-Ta'limi wa al-Tathbiq fi al-Quran al-Karim, al-Syafiyah fi 'ilmi al-Tashrif, dan lain sebagainya.


[1] Assayyid Ahmad Al-Hasyimi, al-Qowa’idu al-asasiyyah li al-lughoti al-‘arabiyyah. (Lebanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2009) hlm. 4
[2] Muhtarom Busyro, Shorof Praktis “Metode Krapyak” (Yogyakarta, Menara Kudus Jogjakarta, 2007) hlm. 22
[3] Antoine Dahdah, Mu’jam Qowa’id al-Lughah al-Arabiyyah fi Jadwal wa Lawahat, (Beirut, Maktabah Lubnan, 1981) hlm. 3
[4] Dr. H. Kojin, Perkembangan Ilmu Nahwu melalui Metode Kritik, (Tulung Agung, STAIN Tulung Agung Press, 2013) hlm. 13-14
[5] Ibid hlm. 16-17
[6] Ibid hlm. 19-20
[7] Ibid, hlm. 20-21
[10]Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu…….., hlm.7.
[11]Ibid, hlm. 8.
[12] Dr. H. Kojin, Perkembangan Ilmu Nahwu melalui Metode Kritik, (Tulung Agung, STAIN Tulung Agung Press, 2013) hlm. 23
[13] Ibid, hlm.24      
[15] Ibid, hlm.26
[16] Fuad Munajad, makalah Nahwu Madzhab Kufah, hlm. 1
[17] QS. Al-Baqarah (2) :164
[18] Muhtarom busyro, Shorof Praktis “Metode Krapyak”, (Yogyakarta, Menara Kudus Jogjakarta, 2007) hlm. 21-22