SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU NAHWU SHARAF
A.
PENDAHULUAN
Nahwu dan sharaf merupakan bahagian
dari ‘ulumu al-lughoh al-‘arabiyyah yang bertujuan untuk menjaga dari
kesalahan pengucapan dan tulisan.’Ulumu al-lughoh al-‘Arabiyyah berjumlah 12 ilmu berdasarkan mukaddimah
kitab القواعد الأساسية للّغة العربية karangan Assayyid Ahmad Al-Hasyimi yaitu: nahwu,
sharaf, ‘arudh, qowafi, matan al-lughoh,
qardh, insya’, khott, bayan, ma’ani, muhadharah, isytiqaq.[1]
Hubungan ilmu sharaf dan ilmu nahwu tidak dapat dipisahkan bagaikan ibu
dan bapak yaitu saling membutuhkan serta saling melengkapi sebagaimana
perkataan sebagian ulama:
"اَلصَّرْفُ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَالنَّحْوُ أَبُوْهاَ"
Artinya: “ilmu sharaf adalah ibu atau induk
dari segala ilmu, sedangkan ilmu nahwu adalah bapaknya”.[2]
Adapun
perbedaan ilmu sharaf dan ilmu nahwu adalah jika ilmu sharaf membahas suatu kata
sebelum masuk di dalam susunan kalimat, sedangkan ilmu nahwu adalah membahas
suatu kata ketika sudah masuk di dalam susunan kalimat.[3]
Dari kedua ilmu ini kita dapat memahami dan
mempelajari teks-teks bahasa Arab yang termaktub dalam al-Qur’an, Hadits,
kitab-kitab ilmu Agama, Syair-syair, serta qaul-qaul bijak para ulama’
terdahulu.
Sebagaimana telah
berkata sahabat Umar bin Al-Khathab: “Pelajarilah bahasa Arab kerana sesungguhnya bahasa Arab itu
merupakan suatu bahagian dari bahasa kalian”.
Seterusnya Imam Al-Ghazali berkata di dalam kitab Ihya’
Ulumuddin:
“Sesungguhnya bahasa Arab dan
Nahwu adalah suatu sarana untuk mengetahui Alquran dan sunnah Nabi s.a.w.
Keduanya bukanlah termasuk ilmu-ilmu syar’i akan tetapi wajib hukumnya
mendalami kedua ilmu tersebut karena syar’iah ini datang dengan bahasa Arab dan setiap syar’iah tidak akan
jelas kecuali dengan suatu bahasa”.
Maka dengan hal tersebut, bertepatanlah
dengan sebuah kaidah fiqhiyyah :
مَا لاَ يَتِمُّ الْواَجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبُ
Artinya: “Tidak sempurna sesuatu
kewajiban kecuali dengannya, maka ia dihukumi wajib pula”.
Dengan demikian, maka jelaslah fungsi ilmu nahwu
dan sharaf sebagai alat untuk mengkaji
dan memahami isi dari teks-teks Arab, terutama yang berkaitan dengan ilmu Agama
(syari’ah).
B.
PEMBAHASAN
1.
Keadaan
Bahasa Arab Sebelum Munculnya Ilmu Nahwu
Bangsa Arab sejak masa jahili terkenal dengan kemahirannya dalam menyusun
kalimat, baik yang berbentuk natsr (prosa) ataupun syi’r (puisi). Ibnu Rasyiq
berkata bahwa mereka sangat terkenal dalam mengungkapkan kalimat-kalimat yang
fashih dan konsisten dalam menggunakan aturan-aturan yang bersifat konvensional
seperti qafiah-qafiah syair yang saling berkaitan, ini bukan karena
pembawaan (mauhibah), akan tetapi karena banyaknya latihan-latihan terutama
dalam perlombaan.
Para pujangga mempunyai otoritas
yang tinggi dalam menjaga kemurnian bahasa. Mereka seringkali mengadakan kontes
kefashihan di tempat-tempat di sekitar ka’bah (yang berkaitan pasar-pasar ukazh,
dzul majnah, dan lain-lain) kalimat-kalimat yang fasihdan baligh akan
mendapat sebutan yang istimewa, seperti: barud al-asbi, alhilal,
al-mu’athif, ad-dibaj, al-waysi, almuhakkiamat, dan al-mudzahibat. Begitu
pula para pemiliknya akan diberi laqab atau sebutan tertentu, seperti: al-muhallil,
al-muraqqis, al-muhabbir, al-mitsaqqib, an-nabighah, al-kayyis, alafwah,
al-utanakkal dan lain sebagainya. Dan bentukpenghargaan lagi adalah mereka
menulis syair atau prosa tadi dengan tinta emas kemudian digantungkan pada
dinding ka’bah.[4]
2.
Faktor-Faktor
Yang Mendorong Munculnya Ilmu Nahwu
Pertama: faktor agama. Kelahiran Islam di tanah Arab dengan membawa
al-Qur’an merupakan sumber inspirasi dan motivasi terhadap lahirnya berbagai
macam ilmu. Para sejarawan mencatat pada masa Abbasiyah lebih dari 300 macam
ilmu berkembang pesat berkat al-Qur’an. Dibidang bahasa paling tidak ada 20
macam ilmu, seperti: nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudh, qowafi,
Isytiqaq, dan lain sebagainya. Dari sini kelihatansekali bahwa kemu’jizatan
al-Qur’an tidak hanya dari aspek isinya, namun dari susunan bahasanyajuga jauh
di atas kemampuan manusia. Padahal ketika al-Qur’an diturunkan, bangsa Arab
sedang mencapai puncak kefashihannya. Untaian syair-syair yang selama itu
mereka anggapindah menjadi kebanggaan seketika pudar. Mereka kagum dan
terpesona terhadap susunan kata dan kalimatnya yang begitu indah dan serasi,
sebagaimana perkataan al-Walid bin al-Mughirah: Demi Allah, apa yang
dikatakan Muhammad itu sedikitpun tidak serupa dengan syair, demi Alllah
kata-kata yang diucapkannya sungguh manis, bagian atasnya berbuah dan bagian
bawahnya mengalir air segar, ucapannya sungguh tinggi tak dapat diungguli,
bahkan dpat menghancurkan apa yang ada di bawahnya. Oleh karena itu sejak
dahulu kaum muslimin tidak henti-hentinya mempelajari al-Qur’an dari berbagai
aspeknya.[5]
Kedua, faktor sosial. Struktur masyarakat yang hiterogen sangat
mendorong munculnya ilmu nahwu. Seperti bashrah dihuni oleh bebrapa etnis, baik
dari Arab ataupun non Arab. Dari bangsa Arab yang tinggal di bashrah adalah
suku tamim, quraisy, kinanah, tsaqif, bahilah, bakr, dan qaos, sedangkan dari
non Arab adalah bangsa persi, yunani, afrika utara, dan india. Mereka semua
saling berinteraksi dalam semua bidang. Dan bahasa adalah alat yang primer.
Mereka tidak mungkin dapat berbahasa dengan baik dan benar tanpa menggunakan
kaidah-kaidah nahwiyah.[6]
Ketiga, faktor politik. Sejak zaman jahili bangsa Arab
mempunyai fanatisme yang tinggi terutama dalam menjaga bahasa. Mereka tidak mau
larut dan hanyut mengikuti bahasa orang asing. Namun bahasa Arab sendiri juga
bukan bahasa yang kaku dan mati yang tidak dapat menerima dan perkembangan.
Maka ketika daulah Umayyah berkuasa, bahasa Arab dijadikan bahasa resmi Negara,
bahkan Umayyah menerapkan system arabisasi, yaitu semuanya harus bersifat Arab.
Bahasa Arab pada waktu itu berkembang sangat pesat. Orang-orang non Arab
beramai-ramai belajar bahasa Arab agar dapat berkomunikasi dengan para
penguasa.
Begitu pula ketika daulah Abbasiyah
berkuasa, bahasa Arab dijadikan bahasa ilmu pengetahuan. Penterjemhan
besar-besaran dari berbagai disiplin ilmu mendorong kaum cerdik untuk dapat
ambil bagian kegiatan ini. Para penguasa pada umumnya menaruh perhatian
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka member fasilitas yang luar biasa
bagi pertumbuhan berbagai macam disiplin ilmu. Dan tidak sedikit mereka
dijadikan muaddib di istana kerajaan untuk mendidik putra-putra khalifah,
seperti yang dialami oleh al-kisa’i.[7]
3.
Lahirnya
ilmu Nahwu
Abul
Aswad ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan
dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn
yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu
karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan
luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang termenung
memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya: "Wahai Amirul
Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab: "Saya
dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku
tentang dasar-dasar bahasa Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad
mendatangi Ali dengan membawa lembaran yang bertuliskan antara lain:
"BismillahirRahmaanirRahiim. Al-kalaamu
kulluhu ismun wafi'lun waharfun. Fal ismu maa anbaa 'anil musammaa, wal fi'lu
maa anbaa a'an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa 'an ma'nan laisa bi
ismin walaa fi'lin".
Artinya: "Dengan nama Allah yang maha
Pengasih dan Penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi'il dan harf. Isim
adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il adalah kata yang
menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak
termasuk kategori isim dan fi'il'.
Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca
ayat al-Qur'an: "InnalLaaha bariiun minal musyrikiina warasuulihi"
dengan mengkasrah lam dari kata rasuulihi, padahal seharusnya dibaca dlammah.
Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur
Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab. Ibnu Salam
dalam kitabnya Thabaqaatu Fuhuulisy Syu'araa mengatakan "Bahwa Abul Aswad
adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu
dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia
menulis antara lain bab fa'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm."
Berbagai riwayat dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli
dalam rangka mendukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu.
Namun
demikian, diantara riwayat-riwayat itu masih banyak yang diperdebatkan
keabsahannya. Satu riwayat yang cukup populer dan diakui keabsahannya oleh para
ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada
mushaf al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak
bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf
dal dan dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada
perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/.
Demikian
juga tulisan yang ada pada mushaf al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru
dalam membaca al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab. Lama-kelamaan, karena
khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul
Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya
Abul Aswad menemu-kan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an.
Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan al-Qur'an. Tanda baca itu
adalah titik di atas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan
titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa
titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda
i'rab).[8]
4. Perkembangan Ilmu Nahwu
Perkembangan
nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan
penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad
sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu
masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh
pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini
al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase
kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di
tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di
atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase
terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, dan Andalusia.[9]
a.
Periode
Basrah
Atas jasanya
dalam memberi tanda baca mushaf Al-Qur'an itu Abul Aswad kemudian dikenal
sebagai peletak dasar ilmu i'rab, dan setelah itu banyak orang yang
datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah dan dasar-dasar ilmu i'rab.
Dia melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami' Bashrah. Dari sinilah awal mula
kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran ilmu nahwu. Banyak murid yang
berhasil dan kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan
yang telah dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan yang dikenal
dengan panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan
Yahya bin Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai seorang
murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan ilmu nahwu yaitu Maimun
Al-Aqran.[10]
Perkembangan
Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin Ashim
antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian istilah nahwu, seperti rafa', nasab,
jar, tanwin, dan i'rab, (2) perluasan beberapa pokok bahasan nahwu, (3)
mulai dipakainya pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah
ilmiah dikalangan para ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan
dalam bidang ilmu nahwu. Dikenalnya
kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini selalu menjadi
pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu. Para Ahli nahwu setelah
generasi Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu ‘Amr
bin Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu aktif dalam mengkaji dan meneliti berbagai
masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan
metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu.
Kemajuan
Bashrah dalam bidang Ilmu Nahwu itu juga tidak terlepas dari perannya dalam
bidang sosial budaya. Bashrah pada saat itu merupakan pusat perdagangan negara
Iraq dan juga lebih dekat ke Jundaisabur, Persi yang saat itu merupakan pusat
pengkajian budaya dan filsafat Yunani, Persi, dan Hindia. Oleh karena itu
pemikiran Bashrah secara umum lebih mendalam dari pada pemikiran kufah, dan
lebih siap untuk mengkaji dan mengkonstruksi berbagai macam ilmu.[11]
Disatu sisi khususnya dalam bidang bahasa keadaan penduduk yang
heterogen tersebut mengakibatkan munculnya lahn. Di Bashrah sendiri ada
nama daerah yang disebut dengan marbad. Tempat ini berfungsi seperti
pasar ukadz pada masa Jahiliyah.[12]
b. Periode Kufah
Kufah ditinjau dari bahasa artinya gundukan pasir yang subur. Kota ini
terletak juga di Iraq yang didirikan oleh Sa’ad bin Abi Waqas dalam perang
Qadisiyah. Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadikan kota ini sebagai pusat
pemerintahannya sampai Ali wafat tahun 661 M dan kota ini pula oleh khilafah
Abbasiyah pernah dijadikan sebagai ibu kota sebelum Baghdad dibangun.
Orang-orang pertama kali yang menduduki kota kufah adalah orang-orang Arab yang
dating bersama Sa’ad bin Abi Waqas ketika memrangi bangsa Persia. Setelah itu
bangsa Persi yang memeluk agama Islam banyak yang tinggal di kufah.[13]
Lepas dari
siapa pendiri madzhab Kufah, ada seorang tokoh Kufah yang paling berjasa dalam
proses ilmiah bahasa Arab, yaitu Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170
H). Ia adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya (ilmu hadits, fiqh,
bahasa, matematika, logika formal) dan didukung dengan kecerdasan yang sangat
luar biasa. Ilmu Nahwu ia kembangkan sedemikain rupa, sehingga dengan kata lain
bahasa Arab benar-benar menjadi bahasa ilmiah dan dapat dipelajari secara
metodologis dan sistematis. Khalil tidak saja melengkapi dan memperluas
teori-teori Abu Aswad dan para muridnya, tetapi secara spektakuler telah
mencetuskan teori baru, yaitu tentang Mubtada’, Khabar, Kana, Inna dan
saudara-saudaranya berserta fungsi dan cara kerja masing-masing. Ia juga
sebagai pembuat kategori atau klasifikasi kata kerja transitif (al-af’al
al-muta’diyah) baik yang sebagai obyek (maf’ul bih) satu, dua atau beberapa
obyek. Ia juga perumus al-fail dan berbagai jenis al-maf’ul, al-khal,
al-tamyiz, al-tawabi’, al-Nida’ berikut macamnya, kata benda (tanwin
musharif) dan sebaliknya. Semuanya ia definisikan dan disusun
metode-metodenya secara rapi.
Tidak hanya di
situ bentuk inovasi Khalil. Lebih jauh lagi, ia membuat teori-teori bahasa lain
yang kemudian disebut dengan Ilmu Sharaf. Ia
kategorikan semua (yang kita kenal sekarang dengan tsulasi,
ruba’i, khumasi dan
lain-lain). Karena pengetahuan matematika dan musiknya yang mendalam, ia mampu
membuat rumusan berbagai nada bunyi puisi-puisi Arab dan aturan-aturannya yang
kemudian dikenal dengan ilmu Arud wal Qawafi. Pengaruh matematika pada
metode Khalil dalam penyusunan kata-kata Arab ini telah memengaruhi dan
mengilhami ia untuk mengelola huruf-huruf Hijaiyah. Dari dua puluh delapan
huruf Hijaiyah oleh Khalil dijadikan derivasinya dan dikelompokkan dalam
cabang-cabangnya (dalam pandangan Khalil pada dasarnya kata dalam bahasa Arab
hanya berjumlah dari penggabungan dari lima huruf lebih, maka dikategorikan
sebagai huruf ziddah). Ia juga yang merumuskan a-ba-ja-dun.[14]
Dengan kata
lain, Khalil lebih mengedepankan qiyas daripada mencari informasi langsung dari
masyarakat (sima’i). Sejak kemunculan Khalil dengan qiyas-nya itu,
sekarang qiyas berperan sangat besar dalam berbagai perdebatan dalam dunia
kebahasan (linguistik) Arab.
Kajian nahwu di kufah jauh ketinggalan dibandingkan dengan kajian nahwu
di bashrah kurang lebih seratus tahun. Hal ini disebabkan karena di kufah lebih
disibukkan kajian terhadap hadits, fiqih, dan qira’ah, sedangkan di
bashrah para ulama’ lebih disibukkan kajian bahasa, nahwu, filsafat, dan
manthiq. Disamping itu pula para penduduk kufah lebih suka berpegang teguh
pada tradisi-tradisi kuno. Karena di daerah tersebut banyak tinggal orang-orang
yang asli Arab khususnya para sesepuh sahabat Nabi Muhammad saw, seperti Umar bin
Yasir, Abdullah ibnu Mas’ud, dan lain sebagainya. Para penduduk kufah akhirnya
sadar atas ketertinggalan mereka, khususnya dengan penduduk bashrahyang telah
mencapai kemajuan dalam bidang bahasa. Nahwu kufah merupakan pengembangan dari
model nahwu bashrah, dan semua ahli kufah adalah murid dari para tokoh nahwu
bashrah.[15]
Secara eksplisit, Dr. Shalah Rawwaiy menyebutkan tiga macam ciri-ciri
umum aliran kufah berikut:
1. Keluasan dalam penggunaan riwayat
Aliran Kufah sangat bertopang pada syi’ir orang Arab pedalaman.
2. Keluasaan dalam analogi (qiyas)
Dalam hal
ini kritik dapat dikedepankan mengingat terkadang mereka hanya menggunakan
sebuah syi’ir sebagai syahid.
3. Perbedaan penggunaan istilah nahwu dan hal-hal yang berkaitan dengan
amil dan ma’mul.
c. Perbedaan Anatara Periode Bashrah Dan Kufah
Seandainya
aliran Bashrah disebut peletak dasar nahwu maka aliran Kufah merupakan mata
rantai dari pengokoh kajian gramatika Arab terutama dengan ciri khas tertentu
yang terkadang merupakan pendekatan yang berdiri diametral dengan aliran
Bashrah.
Secara
sederhana dapat dikatakan perbedaan kedua aliran nahwu tersebut terletak pada
perbedaan metodologi yang digunakan oleh keduanya. Aliran Bashrah dalam banyak
hal lebih berupaya menciptakan kaidah berdasarkan banyak contoh. Dengan
demikian aliran Bashrah menganggap contoh yang sedikit tidak dapat dijadikan
dalil atau paling tidak mereka menganggap hal itu sebagai sesuatu yang syaadz.
Berlawanan dengan aliran Bashrah, kita menemukan aliran Kufah lebih menganggap
bahasa yang benar haruslah sebagaimana diriwayatkan oleh penuturnya betapapun
syadznya riwayat itu.
Dengan
demikian tidak mengherankan kalau dalam prakteknya kedua aliran tersebut selalu
mengedepankan pendekatan yang berbeda dan pada akhirnya pemikiran yang mereka
hasilkan juga berbeda. Dalam hal ini aliran Bashrah
terkenal dengan pendekatan ta’lil dan falsafi yang cenderung preskriptif
sementara Kufah terkenal dengan pendekatan riwayah yang cenderung deskriptif.[16]
Demikian
perkembangan ilmu nahwu yang terjadi dalam dua periode, yaitu periode bashrah
dan kufah. Mestinya sejarah perkembangan ilmu nahwu masih berlanjut hingga fase
kematangan dan penyempurnaan oleh ulma ahli nahwu sehingga menyebar di berbagai
daerah, hingga Baghdad sampai Andalusia juga. Akan tetapi penulis hanya memfokuskan pembahasan
perkembangan ilmu nahwu periode Baghdad dan kufah saja.
5. Tentang Ilmu Sharaf
a. Pengertiannya:
1. Dari segi bahasa : Perubahan ((تغيير
Dasarnya:
قال الله تعالى:
" . . . . وَتَصْرِيْفِ الرِّياَحِ . . . الأية.[17]
أي تَغْيِيْرُهاَ مِنْ
حاَلٍ إِلَى حاَلٍ مِنْ جِهَّةٍ إِلَى جِهَّةٍ
Artinya: perubahan angin dari suatu keadaan menuju keadaan lain atau dari suatu
arah kearah yang lain.
2. Dari segi istilah :
Perubahan asal suatu kata kepada beberapa
kata yang berbeda untuk mencapai arti yang dikehendaki yang hanya bisa tercapai
dengan perubahan tersebut.
b. Penyusunnya
Yang pertama kali menyusun ilmu ini ialah Imam Muadz bin Muslim. Beliau
adalah seorang ulama yang berasal dari kufah. Wafat tahun 187 H.
c. Pembahasannya
Yang dibahas dalam ilmu sharaf adalah isim-isim yang متمكن (yang dapat diubah-ubah) dan
fi’il-fi’il yang متصرّف (dapat ditasrif)
d. Manfa’atnya
Untuk menjaga lisan agar jangan sampai salah ucap dalam tiap-tiap kata
atau kalimat dan untuk menjaga peraturan-peraturan bahasa Arab di dalam
tulisan.
e. Pengambilannya
Pengambilan dan sumber ilmu sharaf ialah dari kalimat-kalimat atau
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi dan kata-kata yang berlaku bagi orang Arab.[18]
f. Pembagian tashrif
Dalam ilmu shorof, para ulama telah membagi tashrif ini menjadi dua
macam, yaitu tashrif lughowi dan tashrif istilahi.
1. Tashrif lughowi adalah tashrifan untuk mengetahui pelaku dari fi’il
tersebut yang berdasarkan dhomir.
2. Tashrif istilahi adalah tashrifan yang digunakan untuk mengetahui bentuk
shighot dari suatu kata, dari fi’il madhi sampai dengan isim alat.
g. Beberapa Istilah Penting dalam Ilmu Sharaf
Supaya lebih mudah memahami pelajaran ilmu sharaf maka terlebih dahulu
kita harus memahami beberapa istilah penting yang akan sering disebut di
tengah-tengah pembahasan ilmu sharaf. Istilah-istilah tersebut antara lain:
1. Wazan
Wazan artinya timbangan, pola atau formulasi kata yang umumnya dengan
menggunakan variasi komposisi huruf-huruf ف , , ع dan ل. Contoh:
-
Wazan dari kata كَتَبَ adalah فَعَلَ
-
Wazan dari kata كَاتِبٌ adalah فَاعِلٌ
-
Wazan dari kata اِنْـقَطَعَ adalah اِنْـفَعَلَ
2. Mauzun
Mauzun artinya kata yang ditimbang atau yang dicocokkan dengan wazannya.
Seperti contoh pada poin 1 kata فَعَلَ disebut wazan, sedangkan kata كَتَبَ disebut mauzun.
3. Huruf
‘illat
Huruf ‘Illat artinya huruf penyakit yaitu ا,و,dan ي.
4. Tashrif
Tashrif artinya mengubah bentuk dasar menjadi kata-kata turunan dengan
mengikuti aturan dan pola tertentu sehingga dihasilkan kata-kata baru dengan
makna yang berbeda-beda.
5. Muqabalah
Muqabalah arti bahasanya adalah “saling berhadapan”. Yang dimaksud
dengan muqabalah di sini adalah memperhadapkan atau membandingkan kata-kata
dengan wazannya. Contoh, kata مَنَعَ dikatakan memiliki wazan فَعَلَ, karena huruf mim
pada kata مَنَعَ setentang dengan huruf fa pada wazan فَعَلَ; huruf nun pada kata منَعَ setentang dengan
huruf ‘ain pada wazan فَعَلَ ; dan huruf ‘ain pada kata مَنَعَ setentang dengan
huruf lam pada wazan فَعَلَ . Coba anda perhatikan:
Selanjutnya dikatakan bahwa:
-
Huruf pertama (mim) pada kata مَنَعَ disebut fa’ fi’il
-
Huruf kedua (nun) pada kata مَنَعَ disebut ‘ain fi’il,
dan
-
Huruf ketiga (‘ain) pada kata مَنَعَ disebut lam fi’il
Begitulah, setiap fi’il yang asalnya tiga huruf
(fi’il tsulatsi) maka huruf pertamanya disebut fa fi’il, huruf keduanya disebut
‘ain fi’il, dan huruf ketiganya disebut lam fi’il.
Kalau fi’il tsulatsi itu bertambah
hurufnya, seperti turunan dari kata مَنَعَ menjadi يَمْنَعُ , يَمْنَعُوْنَ , atau اِمْتَنَعَ , maka huruf yang
bertambah itu tidak dihitung. Kita tetap mengatakan bahwa mim itu adalah fa’
fi’il, nun itu ‘ain fi’il, dan ‘ain itu adalah lam fi’il. Selain dari
huruf-huruf itu dikatakan za-idah (huruf tambahan).
Huruf-huruf tambahan yang menjadi imbuhan
berjumlah sepuluh huruf, terhimpun dalam kalimat .سَأَلْـتُـمُوْنِـيْهَا
Contoh : kata مَمْنُوْعٌ tersusun dari lima
huruf sehingga padanya terdapat dua huruf tambahan yaitu م pertama dan .و kata أَسْتَغْفِرُ tersusun dari enam
huruf sehingga padanya terdapat tiga huruf tambahan yaitu أ, س, dan ت dan seterusnya.
6.
Kitab
Nahwu dan Sharaf yang Dikaji Di Indonesia
Kitab-kitab Nahwu yang dipelajari di pesantren-pesantren, di
madrasah-madrasah, maupun di bangku kuliah di Indonesia antara lain: kitab Qowā’id
al-I’rāb, kitab Nahwu al-Wāḍih, kitab al-Ᾱjurūmiyyah, kitab al-‘Imrīṭī,
kitab Alfiyah ibnu Mālik, Fath al-Khabir al-Lathif bi Syarhi Matan
al-Tarshif, Syarah al-Luma' fi al-'Arabiyah, Ihya' al-Nahwi, dan lain
sebagainya.
Sedangkan kitab-kitab
sharaf yang dikaji diantaranya: al-Amṡilah at-Taṣrīfiyyah, kitab Qowā’id
al-I’lāl, kitab al-Maqṣūd, Mukhtashar al-Tashrif al-Tashrif al-Muluki, al-Sharf
al-Ta'limi wa al-Tathbiq fi al-Quran al-Karim, al-Syafiyah fi 'ilmi al-Tashrif,
dan lain sebagainya.
[1]
Assayyid
Ahmad Al-Hasyimi, al-Qowa’idu
al-asasiyyah li al-lughoti al-‘arabiyyah. (Lebanon, Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2009) hlm. 4
[2]
Muhtarom Busyro, Shorof
Praktis “Metode Krapyak” (Yogyakarta, Menara Kudus Jogjakarta, 2007) hlm. 22
[3] Antoine Dahdah, Mu’jam Qowa’id
al-Lughah al-Arabiyyah fi Jadwal wa Lawahat, (Beirut, Maktabah Lubnan,
1981) hlm. 3
[4]
Dr. H. Kojin, Perkembangan
Ilmu Nahwu melalui Metode Kritik, (Tulung Agung, STAIN Tulung Agung Press,
2013) hlm. 13-14
[5]
Ibid hlm. 16-17
[6]
Ibid hlm. 19-20
[7]
Ibid, hlm. 20-21
[8]
http://abdulqodiralbustomi.blogspot.com/2012/05/ilmu-nahwu-dan-mengenal-ilmu-shorof.html, di akses pada tanggal 11 Januari
2015 pukul 03:45 wib
[12]
Dr. H. Kojin, Perkembangan
Ilmu Nahwu melalui Metode Kritik, (Tulung Agung, STAIN Tulung Agung Press,
2013) hlm. 23
[13]
Ibid, hlm.24
[15]
Ibid, hlm.26
[16]
Fuad Munajad, makalah Nahwu
Madzhab Kufah, hlm. 1
[17]
QS. Al-Baqarah (2) :164
[18] Muhtarom busyro, Shorof Praktis “Metode
Krapyak”, (Yogyakarta, Menara Kudus Jogjakarta, 2007) hlm. 21-22
bagaimana sejarah lahirnya ilmu shorof?
BalasHapusIzin ngeshare ilmunya njih Gus, matur suwun
BalasHapus